- Home>
- Karsinoma Nasofaring
Posted by : Tyas aulia
Sabtu, 27 Mei 2017
Tugas
Teknologi Keperawatan
Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Karsinoma Nasofaring (KNF)
Dibuat
oleh :
Tyas
Aulia Hanani
1510711055
S1
KEPERAWATAN
FAKULTAS
ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2017
KATA
PENGHANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena Atas berkat
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Karsinoma Nasofaring (KNF) ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi
tugas Teknologi Keperawatan. Kami berterima kasih kepada Ibu Ns. Duma Lumban
Tobing selaku dosen mata kuliah Teknologi Keperawatan yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Karsinoma Nasofaring (KNF), mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Akhir kata kami berharap semoga
makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Karsinoma Nasofaring (KNF) dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.
Jakarta,
27 Mei 2017
Tyas Aulia Hanani
1510711055
|
DAFTAR
ISI
KATA
PENGHANTAR ........................................................................................................
i
DAFTAR
ISI ................................................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN ........................................................................................................
1
1. 1 Latar Belakang ........................................................................................................
1
1. 2 Rumusan Masalah ............................................................................................
1
1. 3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................
1
BAB
II TEORI ....................................................................................................................
2
2. 1 Anatomi Nasofaring ............................................................................................
2
2. 2 Definisi ....................................................................................................................
2
2. 3 Epidemiologi ........................................................................................................
3
2. 4 Klasifikasi ........................................................................................................
3
2. 5 Etiologi ....................................................................................................................
5
2. 6 Manifestasi Klinis ............................................................................................
6
2. 7 Patofisiologi ........................................................................................................
8
2. 8 Komplikaasi dan Prognosis ................................................................................
8
2. 9 Penatalaksanaan ........................................................................................................
9
2. 10 Pencegahan .......................................................................................................
11
BAB
III TINJAUAN KASUS ...........................................................................................
12
3. 1 Case Klien .......................................................................................................
12
3. 2 Data Fokus .......................................................................................................
12
3. 3 Analisa Data .......................................................................................................
13
3. 4 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................................
16
3. 5 Intervensi Keperawatan ...........................................................................................
16
BAB
IV PENUTUP ...................................................................................................................
24
4. 1 Kesimpulan .......................................................................................................
24
4. 2 Saran ...................................................................................................................
24
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................................
25
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker)
sel terbentuk di jaringan nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring (tenggorokan) di
belakang hidung. Kanker nasofaring paling sering dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi
nasofaring (Nasional Cancer Institute, 2013).
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan
terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru
(Kemenkes RI). Berdasarkan GLOBOCAN 2012, 87.000 kasus baru nasofaring muncul
setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru
terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian
akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan).
Pelayanan keperawatan sangat
bermanfaat bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan bio, psiko, sosial,
dan spiritual. Namun, hal tersebut belum terwujud sepenuhnya karena masih
tingginya jumlah penderita penyakit pada saluran pernapasan, salah satu nya
penderita karsinoma nasofaring.
Sesuai dengan Undang-Undang
Kesehatan No. 23 tahun 1992, dijelaskan bahwa keperawatan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang mempunyai otonomi dan kewenangan dalam
melaksanakan proses keperawatan sebagai metode pemecahan masalah di bidang
kesehatan.
1. 2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada
klien dengan karsinoma nasofaring ?
1. 3 Tujuan Penulisan
1. Memahami
definisi karsinoma nasofaring
2.
Mengetahui etiologi dari karsinoma
nasofaring
3.
Mengetahui manifestasi klinis dari
karsinoma nasofaring
4.
Mengetahui patofisiologi dari karsinoma
nasofaring
5.
Mengetahui komplikasi dari karsinoma
nasofaring
6.
Mengetahui penatalaksanaan dari
karsinoma nasofaring
7. Mengetahui
asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring
|
BAB
II
TEORI
2. 1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk
trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm.
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai
dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior
oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh sfenoid. Dinding lateral terdapat
muara tuba Eustachius. Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak
lipatan atau kripta. Secara histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel
berlapis silindris bersilia (pseudostratified
ciliated columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi
epitel gepeng berlapis (stratified
squamous ephitelium). Di antara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional ephitelium) yang terutama
didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller (Brennan, 2006).
Nasofaring memiliki pleksus limfatik
submukosa yang banyak. Daerah drainase urutan pertama adalah nodul
retrofaringeal yang terdapat di ruang retrofaringeal di antara dinding
posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebal. Sistem
limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna profunda bagian atas pada
dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas otot
sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik bermuara ke posterior daerah
syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik. Nasofaring
adalah struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe
dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan
kontralateral tidak jarang dijumpai (Bailey dkk, 2006).
2. 2 Definisi
|
Karsinoma Nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel
epitel nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga
mulut yang tumbuh dari jaringan epitel yang meliputi jaringan limfosit dengan
predileksi di fossa rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa (Brunner &
Suddarth, 2002).
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker)
sel terbentuk di jaringan nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring (tenggorokan) di
belakang hidung. Kanker nasofaring paling sering dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi
nasofaring (Nasional Cancer Institute, 2013).
2. 3 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia,
namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah usia 20 tahun dan usia
terbanyak antara 45-54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan
perbandingan antara 2-3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika
Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah
kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Di sebagian provinsi di Cina, dijumpai
kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di
Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus
per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal
Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuah
kecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan
pemicu (Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan
terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru
(Kemenkes RI). Berdasarkan GLOBOCAN 2012, 87.000 kasus baru nasofaring muncul
setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus
baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000
kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan).
2. 4 Klasifikasi
Menurut
WHO :
WHO menetapkan Karsinoma Nasofaring
(KNF) sebagai kanker yang berasal dari sel skuamosa dan dibedakan menjadi 3
tipe :
1. Tipe
I : keratinizing squamous cell carsinoma
Menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya
jembatan interseluler dan atau keratinisasi di atasnya.
2.
|
Sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian
maturasi yang terjadi di dalam sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai
dari sel matur sampai anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau
tidak sama sekali.
3. Tipe
III : undifferentiated carsinoma
Mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen.
Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan vesikuler, batas sel yang tidak
jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik.
Tipe II dan III lebih radiosensitif
dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Chan dan Felip,
2009)
Klasifikasi
stadium TNM :
|
2. 5 Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring sudah
hampir dapat dipastikan bahwa faktor pencetus terbesarnya ialah suatu jenis
virus yang disebut virus Epstein-Barr. Karena pada semua pasien nasofaring
didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr (EB) yang cukup tinggi. Titer ini
lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala
lainnya dan tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang
lain sekalipun (Soepardi et al, 2012). Selain dari itu terdapat juga faktor
predisposisi yang mempengaruhi pertumbuhan tumor ganas ini, seperti :
1. Faktor
ras
Banyak ditemukan pada ras Mongoloid, erutama di
daerah Cina bagian selatan berdasarkan hasil pengamatan cara memasak
tradisional sering dilakukan dalam ruang tertutup dan dengan menggunakan kayu
bakar (Soepardi et al, 1993).
2. Faktor
genetik
Tumor ini atau tumor pada organ lainnya ditemukan
pada beberapa generasi dari suatu keluarga (Soepardi et al, 1993).
3. Faktor
sosial ekonomi
Faktor yang mempengaruhi ialah keadaan gizi, polusi,
dan lain-lain (Soepardi et al, 1993).
4. Faktor
kebudayaan
|
5. Letak
geografis
Terdapat banyak di Asia selatan, Afrika Utara,
Eskimo karena penduduk nya sering mengkonsumsi makanan yang diawetkan (daging
dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian kanker
nasofaring (Soepardi et al, 2012).
6. Jenis
kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dari
pada perempuan disebabkan kemungkinan ada hubungannya dengan faktor kebiasaan
hidup laki-laki seperti merokok, bekerja pada industri kimia cenderung lebih
sering menghirup uap kimia dan lain-lain (Soepardi et al, 2012).
7. Faktor
lingkungan
Faktor yang mempengaruhi adalah iritasi oleh bahan
kimia. Asap sejenis kayu tertentu yang dihasilkan dari memasak menggunakan kayu
bakar, terutama apabila pembakaran kayu tersebut tidak sempurna dapat
menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dalam segi kesehatan
dapat tersangkut di hidung dan nasofaring, kemudian tertelan. Jika pembersihan
tidak sempurna karena ada penyakit hidung, maka partikel ini akan menetap lebih
lama di daerah nasofaring dan dapat merangsang tumbuhnya tumor (Ballenger,
2010).
2. 6 Manifestasi Klinis
Gejala
dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
·
Gejala
Dini
Karena KNF
bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang
sedini mungkin sangat diperlukan..
1) Gejala telinga :
a. Sumbatan tuba eustachius atau
kataralis.
Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
b. Radang telinga tengah sampai
perforasi membran timpani.
|
2) Gejala Hidung :
a. Epistaksis
Dinding
tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
b. Sumbatan hidung
Sumbatan
hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan
menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan
merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada
infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis
juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan
keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi pada stadium dini (Roezin &
Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
3) Gejala Lanjut :
a. Pembesaran kelenjar limfe leher
b. Tidak semua benjolan leher
menandakan kekhasan penyakit ini jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III
dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel
kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan
gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala
utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
c. Gejala akibat perluasan tumor ke
jaringan sekitar
Karena
nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai
saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia). Proses
karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.Bila
sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.Dapat juga
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian
biasanya prognosisnya buruk.
d. Gejala akibat metastasis
|
2. 7 Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller. |
2. 8 Komplikasi dan Prognosis
•
Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia,
hipotiroidisme, fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan
gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang
diradiasi. Komplikasi ini terjadi selama atau beberapa hari setelah
dilakukannya radioterapi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat
terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin
terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.Toksisitas ginjal dapat
terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin
beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula
merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).
•
Prognosis
|
Prognosis
karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan
metastasenya.Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada
yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan
hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir.Prognosis buruk
bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium
yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan
ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).
2. 9 Penatalaksanaan
Untuk
penyakit tumor nasofaring, ada beberapa terapi yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemulihan kondisi pasien diantaranya:
1. Radioterapi
Sampai
saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
KNF.Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi
adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion,
bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara
jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting. Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan
radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000 cGy. Dosis radiasi pada limfonodi leher
tergantung pada ukuran sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tidak
teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara
2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy,
diberikan dalam 41 fraksi 5,5 mingguHasil pengobatan yang dinyatakan dalam
angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin
lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.Untuk stadium I dan II,
diperoleh respons komplit 80% – 100% dengan terapi radiasi.Sedangkan stadium
III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang
tinggi, yaitu 50% – 80%.Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi
beberapa factor diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. Terdapat 3
cara utama pemberian radioterapi, yaitu:
•
Radiasi
Eksterna / Teleterapi
•
Radiasi
Interna / Brakhiterapi
•
Intravena
Setelah
diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon
radiasi berdasarkan criteria WHO, antara lain:
•
Complete
Response: menghilangnya seluruh kelenjar getah bening yang besar.
•
Partial
Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
•
No
Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
•
Progressive
Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
2.
Kemoterapi
|
Secara
definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker dapat
digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada
umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat
mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi
sehingga efek samping menurun. Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain
cisplatin, 5-Fluorouracil, methotrexate, paclitaxel dan docetaxel. Tujuan
kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas. Kemoterapi bisa
digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor
apabila ada metastasis jauh.Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :
a.
Kemoterapi
adjuvan
Pemberian kemoterapi diberikan
setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan
metastasis jauh dan meningkatkan kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat
diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat
terapi utamanya yang maksimal ternyata:
•
Kanker
masih ada, dimana biopsi masih positif.
•
Kemungkinan
besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
•
Pada
tumor dengan derajat keganasan tinggi terjadi karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh.
b. Kemoterapi neoadjuvant
Pemberian
kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika lebih awal yang
dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi
neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor
mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi neoadjuvan telah
banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker kepala dan leher. Alasan utama
penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk
menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang
resisten.Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih baik.
Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang lebih baik jika
diberikan pada tumor berukuran lebih kecil.
c. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi
diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang diberikan
lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi
tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada
stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi
cisplatin radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan
hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation
sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun
pemakaian sehari-hari dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan
dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak
digunakan.
3. Operasi
|
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan
penyebab dari KNF adalah EBV, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
5. Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu perhatian setelah
pengobatan radiasi.Mulut terasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur
mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Gangguan lain adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat
penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau
rasa mual. Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa
nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia.
2. 10 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang
bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan
hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk
yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan
hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Terakhir,
melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).
|
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
3. 1 Case Klien
Seorang Bapak berusia 48 tahun
dirawat diruangan perawatan umum rumah sakit swasta. Klien dirawat dengan
keluhan pilek sejak 2 bulan yang lalu dan belum hilang, dengan ingus yang kental
dan berbau.akhir-akhir ini klien mengeluh nyeri pada daerah telinga, hidungnya
kadang-kadang suka tersumbat dan sering mengalami epistaksis serta terjadi
gangguan pendengaran. Seorang perawat melakukan anamnesa diperoleh data :klien
suka mengkonsumsi makanan yang diawetkan. Klien tinggal dirumah dengan
ventilasi yang kurang baik. Hasil pemeriksaan fisik diperoleh : terdapat
benjolan di leher sinistra, TD : 130/90 mmHg, HR : 100x/menit, RR : 24x/menit,
suhu :38.8 derajat C. pada pemeriksaan test dengan Garputala TEST WEBER ada
gangguan tuli konduktif untuk telinga sinistra. Hasil pemeriksaan CT scan
terlihat adanya massa dan erosi pada dasar otak. Hasil pemeriksaan rontgen
dasar tengkorak tampak destruksi tulang. Hasil biopsi nya klien dinyatakan
Karsinoma Nasofaring. Klien direncanakan untuk dilakukan tindakan kemoterapi.
Namun, klien merasa sia-sia kalau menjalankan kemo dia pasrah dengan hidupnya,
dan juga merasa keberatan dari biaya untuk kemoterapi. Diagnosa medis klien
Karsinoma Nasofaring Stadium II. Perawat dan dokter serta paramedic lainnya
yang terkait melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari/mengurangi
resiko komplikasi lebih lanjut. Keluarga klien bertanya kenapa bisa terjadi
penyakit ini.
3. 2 Data Fokus
Data Subjektif
|
Data Objektif
|
|
1.
Klien
mengatakan pilek sejak 2 bulan yang lalu
2.
Klien
mengatakan ingus kental dan berbau
3.
Klien mengeluh nyeri telinga pada daerah
telinga
P:
Klien mengeluh nyeri meningkat saat telinga tertekan
Q: Klien mengatakan
nyeri seperti ditusuk atau tajam
R: Klien mengatakan
nyeri pada daerah telinga
S : Klien mengatakan nyeri skala 7
T:
Klien mengatakan nyeri muncul akhir akhir ini
4.
Klien
mengatakan hidung kadang-kadang tersumbat
5.
Klien
mengatakan epistaksis dan gangguan pada pendengaran
6.
Klien
mengatakan suka mengkonsumsi makanan yang di awetkan
7.
Klien
mengatakan tinggal di rumah dengan ventilasi kurang baik
8.
Klien
mengatakan merasa sia-sia jika di lakukan kemo klien pasrah terhadap hidupnya
dan merasa berat dari biaya kemoterapi.
Data tambahan :
1. Pasien
mengatakan tidak nafsu makan
2. Pasien
mengatakan BB turun 3 kg dalam 2 minggu
3. Pasien mengatakan
terasa sakit untuk menelan makanan |
1. Klien terdapat benjolan pada
leher
2. Hasil TTV di dapatkan :
TD : 130/90 mmHg HR : 100x/menit
RR : 24x/menit
S : 38,80C
3. Teswebber : tuli konduktif pada telinga sinistra
4.
Hasil
CT-scan : terdapat masa dan erosi pada dasar otak
5.
Hasil
rontgen : destruksi dasar tulang tengkorak
3.
7.
DX
medis : CNF Stadium II
Data tambahan :
1.
Klien
terlihat murung
|
3. 3 Analisa data
No
|
Data
Fokus
|
Masalah
|
Etiologi
|
||
1
|
DS:
1.
Klien mengeluh nyeri telinga pada
daerah telinga
P: Klien mengeluh nyeri meningkat saat
telinga tertekan
Q: Klien mengatakan nyeri seperti
ditusuk atau tajam
R: Klien mengatakan nyeri pada daerah
telinga
S: Klien mengatakan
nyeri skala 7
T: Klien mengatakan
nyeri muncul akhir akhir ini
DO
:
1. Klien
terdapat benjolan pada leher sinistra
2. Tes
webber : tuli konduktif pada telinga sinistra
3. Hasil
Ct-scan terdapat massa dan erosi pada dasar otak
4. Hasil
rontgen : destruksi dasar tulang tengkorak
5. Hasil
biopsi : karsinoma nasofaring
6. Dx
medis : CNF Stadium II
|
Nyeri akut
|
|
||
2
|
DS
:
1. Klien
mengatakan hidung kadang-kadang tersumbat
2. Klien
mengatakan ingus kental dan berbau
3. Klien mengatakan pilek sejak 2
bulan yang lalu
DO
:
1. Klien
terdapat benjolan pada leher sinistra
2. Tes
webber : tuli konduktif pada telinga sinistra
3. Hasil
Ct-scan terdapat massa dan erosi pada dasar otak
4. Hasil
rontgen : destruksi dasar tulang tengkorak
5. Hasil
biopsi : karsinoma nasofaring
6. Dx
medis : CNF Stadium II
|
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
|
|
||
3
|
DS:
1.
Klien
mengatakan ingus kental dan berbau
2.
Klien
mengatakan hidung kadang-kadang tersumbat
3.
Klien
mengatakan suka mengkonsumsi makanan yang di awetkan
4.
Klien
mengatakan tinggal di rumah dengan
ventilasi kurang baik.
DO :
1. Hasil TTV di dapatkan :
TD : 130/90 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 24x/menit
S : 38,80C
2. Klien terdapat benjolan pada
leher . Hasil rontgen : destruksi dasar tulang tengkorak
3.
Hasil biopi : karsinoma nasofaring
4. DX medis : CNF Stadium II
|
Resiko infeksi
|
|
||
4
|
DS
:
1.
Pasien mengatakan tidak nafsu makan
2.
Pasien mengatakan BB turun 3 kg dalam 2 minggu
3.
Pasien mengatakan terasa sakit untuk menelan
makanan
DO
:
1. Klien terdapat benjolan pada
leher
2. Hasil TTV di dapatkan :
TD : 130/90 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 24x/menit
S : 38,80C
3. Hasil biopsi : karsinoma
nasofaring
4. DX medis : CNF Stadium II
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhantubuh
|
|
||
5.
|
DS
:
1. Klien mengatakan merasa sia-sia
jika di lakukan kemo klien pasrah terhadap hidupnya dan merasa berat dari
biaya kemoterapi.
DO :
1. Klien terdapat benjolan pada
leher
|
Keputusasaan
|
Penurunan
kondisi fisiologis
|
3. 4 Diagnosa
Keperawatan
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
1.
|
Nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera : karsinoma
|
2.
|
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang tertahan
|
3.
|
Resiko
Infeksi
|
4.
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
mencerna makanan
|
5.
|
Keputusasaan
berhubungan dengan Penurunan kondisi fisiologis
|
3. 5 Intervensi Keperawatan
Hari / Tanggal
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Tindakan
|
|
||||
|
Nyeri akut
berhubungan dengan agen pencedera : karsinoma
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 6
jam,
diharapkan masalah
nyeri akut
dapat teratasi.
KriteriaHasil:
1. Klien
mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik non
farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri)
2. Melaporkan
bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Klien
mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Klien
menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda-tanda
vital dalam rentang normal
|
Mandiri:
Manajemen
nyeri
1. Lakukan
pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
pencetus
2. Ajarkan
prinsip-prinsip manajemen nyeri: teknik relaksasi napas dalam
3. Berikan
informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur
4. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai
nyeri
5. Kendalikan
faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (misalnya., suhu, ruangan, pencahayaan, suara bising)
6. Tentukan
akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup pasien ( misalnya.,
tidur, nafsu makan, pengertian, perasaan, hubungan, performa kerja dan
tanggung jawab peran )
Kolaborasi:
7. Kolaborasikan
dengan dokter untuk pemberian analgesik
|
|
||||
|
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang tertahan
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, diharapkan masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas
dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
1. Klien
mampu mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas bersih
2. Klien
menunjukkan jalan napas yang paten (irama dan frekuensi napas dalam rentang
normal, tidak ada suara napas tambahan)
3. Klien
mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan
napas
|
Mandiri:
Penghisapan
lendir pada jalan napas
1. Monitor
dan catat warna, jumlah dan konsistensi sekret
2. Kaji
frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
3. Tentukan
perlunya suksion atau tidak
4. Aspirasi
nasopharynx dengan kanul suksion sesuai dengan kebutuhan
5. Berikan
sedatif, sebagaimana mestinya
6. Masukkan
nasopharingeal airway untuk melakukan suction nasotracheal sesuai kebutuhan
7. Instruksikan
kepada pasien untuk menarik napas dalam sebelum dilakukan suction
nasotracheal dan gunakan oksigen sesuai kebutuhan
8. Monitor
adanya nyeri
Kolaborasi :
Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat inhalasi
|
|
||||
|
Resiko Infeksi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, masalah resiko infeksi dapat teratasi
Dengan kriteria hasil
1.
Klien tidak pilek disertai ingus
yang kental dan berbau
2.
Klien tidak mengeluh hidungnya
tersumbat
3.
Hasil TTV normal:
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Suhu
: 36,5-37,5 C
RR
: 24 x/menit
Nyeri
: skala 0
4.
Hasil Laboratorium normal
:Leukosit=5000-10.000
|
Mandiri:
Perlindungan
Infeksi
1.
Monitor adanya tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
2.
Monitor kerentanan terhadap
infeksi
3.
Batasi jumlah pengunjung yang
sesuai
4.
Tingkatkan asupan nutrisi yang
cukup
Kontrol
Infeksi
1.
Bersihkan lingkungan dengan baik
setelah digunakan
2.
Dorong intake cairan yang sesuai.
3.
Dorong untuk beristirahat
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian antibiotik
|
|
||||
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
mencerna makanan
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan
masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan
Kriteria
hasil:
1.
Pasien memiliki berselera untuk
makan
2.
Berat badan naik secara bertahap
3.
Pasien mau menerimamakanan dari
rumah sakit.
|
Mandiri :
Manajemen nutrisi :
1. Berikan
pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan {makanan}yang
lebihsehat yang di perlukan.
2. Pastikanmakanan
di sajikan dengan cara yang menarik dan pada suhu yang paling cocok untuk
konsumsisecara optimal
3. Tentukan
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan
gizi
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
dengan ahli gizi dalam pemenuhan nutrisi pasien
|
|
||||
|
Keputusasaan berhubungan dengan Penurunan kondisi fisiologis
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 6
jam diharapkan keputusasaan dapat
diatasi.
Kriteria
hasil:
1. Klien
memiliki keinginan untuk hidup
2. Klien
tampak tenang
3. Klien
memiliki motivasi untuk sembuh
|
Mandiri:
Inspirasi
harapan
1. Bantu
pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi area dari harapan dalam hidup
2. Informasikan
pada pasien mengenai apakah situasi yang terjadi sekarang bersifat sementara
3. Demonstrasikan
harapan dengan menunjukkan bahwa sesuatu dalam diri pasien adalah sesuatu
yang berharga dan memandang bahwa penyakit pasien adalah hanya satu segi dari
individu
4. Bantu
pasien mengembangkan spiritualitas diri
5. Jangan
memalsukan hal yang sebenarnya
6. Dukung
hubungan terapeutik dengan orang yang penting bagi pasien
Kolaborasi:
Kolaborasikan dengan psikolog untuk mengatasi keputusasaan klien
|
|
|
BAB
IV
PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker) sel terbentuk di
jaringan nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring (tenggorokan)
di belakang hidung. Kanker
nasofaring paling sering dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi nasofaring
(Nasional Cancer Institute, 2013), keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes RI). Banyak faktor yang
di duga berhubungan dengan tumor nasofaring, yaitu: adanya infeksi EBV, faktor
lingkungan, dan genetik.
4. 2 Saran
Perawat
sebaiknya mengetahui mengenai penyakit karsinoma nasofaring, sehingga apabila
menemukan kasus secara dini dapat segera ditangani dengan sesuai dan dapat
memberikan asuhan layanan keperawatan yang tepat bagi penderita karsinoma
nasofaring.
|
DAFTAR PUSTAKA
National Cancer Institute, 2009. Nasopharyngeal
Cancer Treatment. U.S.A [diakses pada 27 Mei 2017 melalui http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfessional/page9]
National Cancer
Institute, 2013. Nasopharyngeal Cancer Treatment. [diakses pada 27 Mei 2017
melalui http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/page2].
Maqbook, M.,
2000. Tumours Of Nasopharynx. In:Textbook Of Ear,Nose And Throat Disease.Edition 9,Srinagar:Jay Pee
Brothers,250-253
Ballenger, Jacob
John. 2010. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Jilid 2 Edisi 22. Jakarta : Binarupa Aksara.
Brennan, B.
2006. Nasopharyngeal Carsinoma. Orphanet
Journal of Rare Disease. 1(23): 1-5.
Nanda.
2015-2017. Diagnosa Keperawatan Ed 10.
EGC : Jakarta.
Moorhead, Sue,
dkk. 2016. Nursing Outcome Classification
(NOC) Ed 5. Elsevier.
Bulechek, Gloria
M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification
(NIC) Ed 6. Elsevier.
Iskandar, N.,
Soepardi, E., Bashiruddin, J., et al (Ed). 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penmerbit
FKUI.
|
||
|